Guru: Sangkan paran adalah pengetahuan tentang dari mana kamu berasal dan kemana tujuan kamu. Atau lebih mudahnya adalah ilmu tentang jalan pulang. Sebenarnya dimana rumah asalmu maka kesanalah kamu akan pulang. Ketahuilah Muridku, bahwa sesungguhnya tiap-tiap apa yang berasal akan kembali ke asal itu.

– Sangkan paraning dumadi’ dipercaya sebagai falsafah kehidupan dari nenek moyang suku Jawa. Falsafah tersebut dituturkan oleh nenek moyang dengan cara lisan, tulisan lewat serat-serat, dan juga lewat pentas pewayangan.Sangkan paraning dumadi’ adalah sebuah filosofi untuk memahami manusia, memahami perjalanan sejati yang harus ditempuh oleh manusia di dunia ini. Tetapi sangat disayangkan beberapa kalangan mengatakan jika falsafah tersebut sangat jauh dari nilai beberapa kasus, sangakan paraning dumadi’ dipahami sebagai ajaran kepercayaan Jawa, dan bukan bagian dari Islam. Padahal jika merujuk kepada masa nabi, ada beberapa filosofi budaya Barat yang masih Nabi tersebut disebut sebagai sinkretisme Islam, artinya adalah Islam bisa bersinggungan dengan nilai budaya dan adat di tempat agama Islam berkembang. Hal ini sebenarnya bisa juga dipakai dalam kasus ajaran sangkan paraning dumadi’, bisa berpadu dengan Sangkan Paraning DumadiFilosofi Jawa ini sudah lama digunakan oleh nenek moyang sebagai bagian dari pengajaran agar bisa menjadi manusia yang sejati. Kemudian ketika Walisongo menyebarkan agama Islam, mereka melakukan dakwah dengan sangat arif dan Jawa yang tidak bertentangan dengan Islam masih tetap ada dan bahkan dipakai oleh para Walisongo sebagai media berdakwah. Seperti wayang, dan budaya lainnya, termasuk juga adalah ajaran sangkan paraning Kalijaga adalah salah satu dewan Walisongo yang menggunakan ajaran filosofi tersebut untuk mengajarakan perkara sufi pada murid-muridnya. Sunan Kalijaga juga yang kemudian memberikan makna sangkan paraning dumadi’ sehingga bisa bernafaskan nilai-nilai era selanjutnya, ada Ronggowarsito, pujangga Jawa yang juga menggunakan ajaran sangkan paraning dumadi’ sebagai medianya dalam berdakwah. Lewat serat Gatoloco, Ronggowarsito mengurai makna dari ajaran sangkan paraning dumadi’.Istilah sangkan’ berasal dari Bahasa Jawa berarti asal, sedangkan paraning’ berarti tujuan, dan dumadi’ berarti menjadi. Jadi, sangkan paraning dumadi’ adalah ajaran yang memberikan pemahan tentang asal, tujuan dan apa fungsi dari dirinya manusia.Sangkan Paraning Dumadi dalam Cerita PewayanganDi dalam serat Gatholoco, Ronggowarsito menjelaskan jika asal dari manusia adalah penyatuan antara lingga simbol kelamin laki-laki dan yoni symbol kelamin perempuan. Penyatuan antara keduanya kemudian akan menghasilkan jabang bayi. Jabang bayi tadi kemudian harus mencari tujuan, dan kenapa dia ada di dunia menggambarkan proses pencarian tujuan dan alasan adanya didunia ini dengan karakter Gatholoco. Karakter tersebut digambarkan sebagai karakter antagonis karena sering melakukan kritik pada para tokoh perjalanan tersebut sebenarnya adalah proses pencarian tujuan dan makna hidup seseorang. Kemudian Sunan Kalijaga melukiskan ajaran sangkan paraning dumadi’ dengan cerita pewayangan dengan judul Dewa cerita tersebut Sunan Kalijaga menggambarkan Dewa Ruci adalah Tuhan, tetapi ketika dimaknai lebih dalam, sosok Dewa Ruci adalah manusia itu sendiri. Hal tersebut terjadi karena menurut ajaran para sufi, manusia itu berasal dari Tuhan, dan kemudian ketika sudah menemukan rasa kemanusiaannya maka dia sebenarnya telah kembali kepada dan ajaran sangkan paraning dumadiBeberapa kalangan masih beranggapan jika ajaran Jawa ini adalah sesat, dan tidak sesuai dengan ajaran Islam. Alasan mereka adalah bahwa konsep penyatuan antara Tuhan dan manusia itu tidak akan pernah jika mau melihat literatur Islam, banyak tokoh-tokoh sufi yang membicarakan hal tersebut. Lewat ajaran sangkan paraning dumadi’, Sunan Kalijaga dan Ronggowarsito ingin mengajarkan amalan tasawuf tentang bagaimana caranya menjadi manusia yang orang sudah paham tentang asal-usulnya, tentang tujuannya hidup di dunia, maka mereka akan menjadi manusia yang sejati. Ketika sudah menjadi manusia yang sejati, ini berarti sudah memahami hakikat manusia hidup didunia dalam Islam ada istilah kembalinya manusia pada Tuhan, yakni ā€œInna lillahi wa inna ilahi raji’un.ā€ Arti dari kalimat tersebut adalah ā€œsesungguhnya kita milik Allah dan sesungguhnya kepada-Nyalah kita akan kembaliā€.Beberapa kalangan ulama sufi mengatakan jika kalimat tersebut adalah bagian dari dasar bahwa manusia yang sudah mengenal asal-usulnya bagian dari Tuhan. Maka dia akan paham tujuan hidupnya, adalah kembali pada tuhan sebagai Kalijaga dan Ronggowarsito ingin mengajarkan tentang perjalanan hidup manusia sehingga mereka mengenal dirinya sendiri, yakni menjadi manusia yang sejati. Ketika sudah mengenal kesejatian diri, maka manusia bisa lebih dekat dengan Tuhan.Sangkan paraning dumadi’ yang diajarkan oleh sunan Kalijaga dan Ronggowarsito sebenarnya adalah konsep mengenal jati diri manusia, dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai tersebut tidak bertentangan dengan nilai Islam sehingga bisa memberi pelajaran bagi kita bahwa budaya nenek moyang dan ajaran islam tidaklah bertentangan. Semuanya terhubung asalkan kita memahami makna dibalik ajaran dewa ruci falsafah jawa pewayangan sangkan paraning dumani sunan kalijaga

Dumadiartinya lahir atau menjadi ada. Sebelum lahir, sebelum bernama, atau sebelum ada seperti ini, itulah sang asal. Sangkan paraning dumadi umumnya dipahami sebagai asal dan tujuan hidup. Ada yang Menyebutnya Tuhan sesuai dengan pemahaman atau agama pada umumnya. Sangkan paraning dumadi adalah kembali pada diri sejati atau rumah sejati. ā€œSetiap tetes air dari Allah yang menimpa rambutmu, kepalamu, keningmu, wajahmu, badanmu, dan bajumu, mudah-mudahan merupakan datangnya rezeki Allah kepadamu. Dunia maupun akhirat,ā€ buka Cak Nun mengawali Sinau Bareng di Ponpes Segoro Agung, Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur, Jumat malam 21/02.Cak Nun melanjutkan prolog, mewedar kedudukan pesantren. Menurutnya, pesantren bukan masa silam, melainkan hari depan. Pesantren dengan segala kelengkapan metode maupun sistem belajarnya cukup diorientasikan untuk menjawab tantangan Nun menandaskan alternatif sudut pandang. Acap kali pesantren dianggap ketinggalan zaman, tergilas oleh sekolah modern. Stigma tradisional sering disematkan kepada pesantren, bahkan diakui tak lagi relevan di dunia pendidikan modern. Terhadap pandangan itu Cak Nun bersilang pendapat. ā€œPesantren adalah kaifiyyah tata cara, thoriqoh, sosial, budaya, spiritualitas, bahkan kenegaraan untuk masa depan,ā€ itu tema Sangkan Paraning Dumadi dibabar secara bernas. Diteropong dari multiperspektif. Seraya berkelakar, Cak Nun menuturkan, bukan berarti kalau dirinya dan Ki Sigid Ariyanto bersandingan dalam sepanggung, maka acara ini terbagi dua tema. Antara religiusitas dan klenik. ā€œKita akan membicarakan persambungan antara wayang dan Islam,ā€ papar Cak Paraning Dumadi itu kamu berasal dari mana dan hendak ke mana. Di Islam pernyataan itu sama dengan Innalillahi wa inna ilaihi roji’un. Sangkan manusia itu Innalillah dari Allah, sedangkan dumadi-nya ilaihi roji’un. Jadi, menurut Cak Nun, Innalillahi wa inna ilaihi roji’un itu bukan untuk ucapan orang yang meninggal, melainkan orang yang masih manusia, lanjut Cak Nun, mengidentifikasi kelahirannya secara administratif lahir kapan, di mana, dan orang tua siapa. Pemahaman itu menjadi arus utama di kalangan masyarakat umum. Konsep sangkan dan paran, bagi Cak Nun, justru mendahului eksistensi pencatatan sipil semacam itu. Manakala Tuhan menciptakan, maka di situ permulaan itu datang dari Tuhan dan pulang kembali kepada-Nya. Pada kesempatan lain Cak Nun menguraikan dimensi Innalillahi wa inna ilaihi roji’un sebagai bulatan. Ia datang dari titik sama dan memutar kembali ke titik semula. Aneka rupa dinamika kehidupan manusia niscaya relatif, namun sangkan dan paran berpola itu BermaiyahCak Nun mengaitkan antara wayangan dan Maiyah. Maiyah itu bukan kelompok. Maiyah itu berpaut erat dengan kelembutan hati yang membuat manusia selalu ingin bertemu, bergandengan tangan dan menguatkan. ā€œWayangan iku yo Maiyahan. Maiyah bukan benda padat. Ia nilai. Setelah Sinau Bareng nanti, kita akan berpindah Maiyahan ke wayangan,ā€ Ki Sigid Ariyanto adalah pelopor Simpul Maiyah Sendhon Waton, Rembang. Ia menjelaskan sepintas makna Sendhon Waton. Sendhon itu rangkaian kata terpilih dan terindah yang mengandung ajaran kearifan leluhur. Waton itu berarti mempunyai referensi, sebuah pijakan Sigid bercerita akan membawakan lakon Dewa Ruci dan Bima Suci. Kisah Dewa Ruci relevan ditampilkan karena, menurutnya, setarikan napas dengan tema Sangkan Paraning Dumadi. Menampilkan tokoh utama Brotoseno. ā€œIa sama dengan Bima dan Werkudara. Brotoseno berguru di Pesantren Sakalima. Di cerita Brotoseno tersebut ingin tahu ilmu Sangkan Paraning Dumadi Kawruh Kasampurnan,ā€ lanjut Ki wayang kearifan lokal leluhur termediasi apik. Cak Nun mempertajam kalau selama ini pandangan mengenai wayang selalu dikaitkan dengan kisah Ramayana dan Mahabharata. Tapi sepanjang sejarahnya, seiring masuknya agama Islam, kedua kisah itu digubah oleh Sunan Kalijaga untuk media dakwah. ā€œJadi, wayang yang kita kenal sekarang yang berasal dari dua kisah tersebut pada gilirannya diislamkan’ oleh beliau,ā€ konsep pakem dan carangan dalam wayang. Cak Nun sendiri melihat kedudukan punakawan yang terdiri atas Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong tak diambilkan dari epos India. Mereka dimunculkan sesuai kebudayaan Jawa. Upaya pencarangan dalam wayang, khususnya aspek pengisahan, kerap direproduksi dalang sebagai bagian dari proses kreatif.ā€œPunakawan sendiri itu yang menemani dengan keilmuan dan kebijaksanaan, sementara ponokawan itu menemani dengan cinta,ā€ papar Cak Nun. Oleh Cak Nun sendiri, selama proses kepenulisan kreatif, peran Punakawan pernah diadaptasikan ke dalam Novel Arus Bawah 1994. Tentu dengan penyesuaian alur cerita berlatar Karang Kedempel yang sebetulnya konotasi wilayah Indonesia. ā€œPunakawan sendiri adalah representasi dari demokrasi yang disuarakan kaum kelas bawah.ā€Sinau Bareng malam itu begitu khidmat, meski gerimis terus mengguyur. Jamaah terlatih untuk ā€œberpuasaā€ terhadap segala kondisi dan mengondusifkan diri agar tak terdistraksi. ā€œPuasa adalah bentuk fermentasi mental dan hati. Jika kamu sering puasa, maka hatimu akan luwes dan lembut,ā€ pesan Cak di luar diri hendaknya diatur sesuai kedaulatan individu. Cak Nun menambahkan agar jamaah jangan menangisi dunia. ā€œJangan bergantung pada dunia pula. Usahakan dunia tergantung pada Anda, dan Anda yang harus mengatur dunia,ā€ tambahnya. Yang mempertautkan diri-dalam dan kondisi-luar adalah relasi penuh kasih. Pesantren punya potensi untuk berdaulat.ā€œHubungan tertinggi antara manusia dengan manusia dan manusia dengan Tuhan adalah cinta. Berhentilah membuat sekat tentang keluasan cinta dan jangan pernah berhenti mencintai,ā€ pungkas Cak Nun.
Ira: " Ora,jalaran aku pertemuan minggu kepungkur ora mlebu sekolah amarga lara.". Rani : " Yen ngono mengko sore ndhewe sinau bareng bae ya Ir,neng ngomahku.". Ira : " Ya,kebeneran,aku mengko tak ngajak Sinta.". Rani : " Ya tak tunggu tekamu,kae bel sakolah wis muni,ayo ndang mlebu kelas. 1. Wacan pacelaton ing ndhuwur
The Philosophy Axis of the Yogyakarta Palace reflects the human journey from a fetus, a baby, growing into a child, a teenager then an adult human being, having a family, aging and finally dying. The complete journey of human life is reflected in the philosophical expression of Sangkan Paraning Dumadi as the teachings of Islam are innalillahi wa innailaihi roji'un QS. Al-Baqarah [2]156. The philosophical concept of the heritage of the Javanese poets by Prince Mangkubumi is manifested in the form of the Yogyakarta Palace architecture. This article reviews the relationship of religion and culture with the Axis of Philosophy of Yogyakarta City within the framework of Javanese-Islamic typology through a phenomenology-hermeneutics of Husserlian-Heideggero-Gadamerian. To read the full-text of this research, you can request a copy directly from the has not been able to resolve any citations for this ilmu pengetahuan sibuk bersitegang mengenai kebenaran objektif, maka fenomenologi meletakkan ā€œkebenaranā€ pada nilai-nilai yang dihidupi oleh subjek. Di dalamnya, terurai pengalaman manusiawi, konflik, rekonsiliasi, kebijaksanaan lokal, kebenaran-kebenaran yang diinteriorisasi oleh subjek-subjek. Objektivitas, kata Aristoteles, adalah itu yang merujuk ke objeknya. Sementara, subjektivitas adalah itu yang menjadi milik subjek, milik manusia yang mengalami atau, menurut Martin Heidegger, milik Existenz. Karena alasan ini, sungguh naiflah para lmuwan yang meyakini bahwa lawan kata dari objektif adalah subjektif. Zaman old dahulu kala, saat para ilmuwan alam melakukan temuan-temuan baru di berbagai bidang kimia, fisika, biologi, dan yang sejenis, terminologi objektivitas sungguh-sungguh populer. Hegemoni objektivitas benar-benar melampaui ranah ilmu alam sampai segitunya lho!. Dan, yang dimaksud objektivitas ialah itu yang terukur, terstandar, terkriteria, atau dapat dihitung, dikalkulasi, distatistikkan, dan di rata-rata menurut hitungan matematika dengan segala prosedurnya. Auguste Comte menjadi salah satu yang terkenal karena dia mendeklarasikan diri sebagai ā€œilmuwan sosialā€ tetapi pada saat yang sama dia juga deklarator pendekatan objektif atau waktu itu terkenal dengan sebutan ā€œpositivistik.ā€ Karl Marx berada di kemah yang sama dengan Comte, positivisme. Dan, sejarah ilmu pengetahuan mencatat, pendekatan positivistik itu revolusioner, menggebrak, dan mengubah dunia. Sampai hari ini tidak sedikit ilmuwan sosial bermesraanā€ dengan pendekatan yang demikian karena meyakini seperti para pendahulunya zaman old itu bisa mengubah dunia dengan deklarasi mengenai objektivitas. Andik Wahyun MuqoyyidinThis article reveals the Islamic cultural problems which spreadsand develops in Indonesia especially those which are related to Islam andJavanese culture dialectic. This idea refers to cultural-sociological framewhich dominated more in the form of acculturation. Although there was afluctuated development in the 19’s still acculturation dominated almostall religion’s expression in Java. Syncretism and religion tolerance becamethe character of Islam in Java and this was based to Javanese contextanimism and Hinduism. Muhammad ZuhdiDakwah para penyebar Islam awal ke Nusantara telah menunjukkan akomodasi yang kuat terhadap tradisi lokal masyarakat setempat. Sehingga Islam datang bukan sebagai ancaman, melainkan sahabat yang memainkan peran penting dalam transformasi kebudayaan. Hal ini menunjukkan bahwa karakter Islam Indonesia yang berdialog dengan tradisi masyarakat sesungguhnya dibawa oleh para mubaligh India dalam penyebaran Islam awal di Indonesia yang bersikap akomodatif terhadap tradisi masyarakat atau kultur masyarakat setempat ketimbang mubaligh Arab yang puritan untuk memberantas praktik-praktik lokal masyarakat. Karakter Islam yang dibawa orang-orang India inilah yang diteruskan Walisongo dalam dakwahnya di Jawa. Proses dialog Islam dengan tradisi masyarakat diwujudkan dalam mekanisme proses kultural dalam menghadapi negosiasi lokal. Perpaduan antara Islam dengan tradisi masyarakat ini adalah sebuah kekayaan tafsir lokal agar Islam tidak tampil hampa terhadap realitas yang sesungguhnya. Islam tidak harus dipersepsikan sebagai Islam yang ada di Arab, tetapi Islam mesti berdialog dengan tradisi lokal masyarakat setempat Heddy Shri Ahimsa PutraIn this article the author explains what is called phenomenoĀ­logical approach’ in the study of religion. Starting from Husserl’s philosophy of phenomenology, the author tracing its influences in social science through one of Husserl’s students, Alfred Schutz. Based on Husserl’s ideas developed by Schutz, the author presents his views how those ideas can be applied in the study of religion, and how religion can be defined phenomenoĀ­logically. The author further explains some methodoĀ­logical ethical implications of doing phenomenoĀ­logical research on religion. *** Dalam tulisan ini penulis menjelaskan apa yang disebut penĀ­dekatan fenoĀ­menologi’ dalam kajian agama. Berangkat dari filsafat fenomenoĀ­logi Husserl, penulis melacak peĀ­ngaruhnya pada ilmu sosial melalui salah seorang murid Husserl, Alfred Schultz. Berdasarkan ide Husserl yang diĀ­kembangkan oleh Schultz, penulis menyajikan panĀ­dangĀ­anĀ­nya bagaimana ide-ide itu dapat diterapkan dalam kajian agama, dan bagaimana agama dapat didefinisikan secara fenomenologis. Penulis selanjutnya menjelaskan beberapa impliĀ­kasi etis metodologis jika meĀ­lakukan kajian fenomenoĀ­logis terhadap SumbulahJavanese Islam has a character and a unique religious expressions. This is because the spread of Islam in Java, more dominant takes the form of acculturation, both absorbing and dialogical. The pattern of Islam and Javanese acculturation, as well as can be seen on the expression of the Java community, is also supported by the political power of Islamic kingdom of Java, especially Mataram which had brought Islam to the Javanese cosmology Hinduism and Buddhism. Although there are f luctuations in the relation of Islam to the Javanese culture, especially the era of the 19th century, but the face looks acculturative Javanese Islam dominant in almost every religious expressions Muslim communities in this region, so the aspect of ā€syncreticā€ and tolerance of religions into one distinctive cultural character of Javanese Islam. Agama Islam di Jawa memiliki karakter dan ekspresi keberagamaan yang unik. Hal ini karena penyebaran Islam di Jawa, lebih dominan mengambil bentuk akultrasi, baik yang bersifat menyerap maupun dialogis. Pola akulturasi Islam dan budaya Jawa, di samping bisa dilihat pada ekspresi masyarakat Jawa, juga didukung dengan kekuasaan politik kerajaan Islam Jawa, terutama Mataram yang berhasil mempertemukan Islam Jawa dengan kosmologi Hinduisme dan Budhisme. Kendati ada fluktuasi relasi Islam dengan budaya Jawa terutama era abad ke 19-an, namun wajah Islam Jawa yang akulturatif terlihat dominan dalam hampir setiap ekspresi keberagamaan masyarakat muslim di wilayah ini, sehingga ā€sinkretismeā€ dan toleransi agama-agama menjadi satu watak budaya yang khas bagi Islam AzraIslam NusantaraAzra, Azyurmardi, Islam Nusantara, Jaringan Global dan Lokal, Bandung Mizan, Penerbit GramediaM A W BrowerPsikologi FenomenologisBrower, Psikologi Fenomenologis. Jakarta Penerbit Gramedia, Dinas KebudayaanBuku ProfilDinas Kebudayaan DIY, Buku Profil Yogyakarta City of Philisophy, Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta, Yogyakarta EndraswaraFalsafah Kepemimpinan JawaEndraswara, Suwardi, Falsafah Kepemimpinan Jawa. Jakarta PT Buku Seru, HaryantoTriHaryanto, Joko Tri, Mengeja Tradisi Merajut Masa Depan, Semarang Pustakindo Pratama, KoentjoroningratJawaKoentjoroningrat, Kebudayaan Jawa. Jakarta Balai Pustaka, Primbon Suanan BonangMas KumitirKumitir, Mas, "Kitab Primbon Suanan Bonang", 2017, diakses 28 Sepetember 2020, Hermeneutika dalam Tradisi Barat ReaderLembaga PenelitianUin SunankalijagaLembaga Penelitian UIN Sunankalijaga, "Pemikiran Hermeneutika dalam Tradisi Barat Reader", Editor Syafa'atun Almirzanah dan Shairon Syamsuddin YogyakartaPenerbit UIN Sunan Kalijaga, S MarizarKursi Kekuasaan JawaMarizar, Eddy S., Kursi Kekuasaan Jawa. Jakarta Narasi, 2013. Mifedwil, Jandra, Perangkat Alat-alat dan Pakaian serta Makna Simbolis Upacara Keagamaan di Lingkungan Keraton Yogyakarta Yogyakarta Proyek Inventarisasi dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya DIY, RahayuPermana Rahayu, "Sejarah Masuknya Isam di Indonesia, Jurnal, 2015Qur'anic Concept of God, The Universe and ManFazlur RahmanRahman, Fazlur, "Qur'anic Concept of God, The Universe and Man", Islamic Research Institute, Vol. 6, No. 1, MARCH di Bawah Sultan Mangkubumi 1749-1792 Sejarah Pembagian JawaM C RicklefsRicklefs, Yogyakarta di Bawah Sultan Mangkubumi 1749-1792 Sejarah Pembagian Jawa. Yogyakarta Mata Bangsa, TibbiIslamTibbi, Bassam, Islam and Cultutral Accommodation of Social Change, San Francisco Westview Pres, R WagnerWagner, Helmut R., Alfred Schutz on Phenomenology and Social Relation. Chicago and London Chicago University Press, Deconstruction of TimeDavid WoodWood, David, The Deconstruction of Time, Antlantic Highland humanities Press International, Inc, fi Ulum Al-Qur' an, Beirut Dar al-Ma'rifahZarkasyiZarkasyi,al-, Burhan fi Ulum Al-Qur' an, Beirut Dar al-Ma'rifah, 1972. juz 113.
Mulanebanjur kasebut Ilmu Kasunyatan. Mangkene mula bukane sangkan paraning dumadi: [1] Asaling Dumadi: Saka cahyaning Wulan kasebut pamor, cahyaning Surya kasebut sereng, cahyaning Wintang kasebut sunar, cahyane Lintang kasebut kilat. Dene wadhag utawa raga asale saka Padmasari, yakuwi sarining pangan asale saka banyu segara. [2] Sangkaning
  1. Š¦įŒµįˆ– į€Ö…įŒ„Š¾Ī²į‰§Š» иρеηኯв
  2. ŌæĻ…Ö„įˆ’įŒ· ŃƒĪ»ŠøÕ¬Š¾ÕæįˆˆŠ½Ń‚ Ö‡Ń‰ŃƒÕŗÕ«į‰æŃƒĻ‚ŠøŠŗ
Kronikini menjelaskan bahwasanya Wali Sanga adalah berasal dari China dan hanya Sunan Kalijaga yang berasal dari Jawa. Sumber ini pernah dipakai oleh sejarawan Slamet Mulyana. Sementara ahli lainnya menolak sutra-sutra, lontar-lontar, buku-buku yang bekenaan dengan tema sangkan paraning dumadi ini.
sangkanparaning dumadi, sangkan paraning dumadi menurut islam, sangkan paraning dumadi artinya, sangkan paraning dumadi pdf, sangkan paraning dumadi manunggaling kawula gusti, sangkan paraning dumadi agung pambudi, sangkan paraning dumadi meaning, sangkan paraning dumadi sunan kalijaga, sangkan paraning dumadi jawa, sangkan paraning dumadi manungso, sangkan paraning dumadi dalam islam
Te8QV.
  • 4l60zfwx6q.pages.dev/373
  • 4l60zfwx6q.pages.dev/12
  • 4l60zfwx6q.pages.dev/593
  • 4l60zfwx6q.pages.dev/53
  • 4l60zfwx6q.pages.dev/521
  • 4l60zfwx6q.pages.dev/384
  • 4l60zfwx6q.pages.dev/284
  • 4l60zfwx6q.pages.dev/113
  • sangkan paraning dumadi sunan kalijaga